Persoalan hak atas tanah turut menjadi salah satu penyumbang banyaknya masalah sosial Jakarta. Banyak warga yang terpaksa harus rela digusur dari lahan yang telah ditempati selama puluhan tahun, lantaran tidak memiliki sertifikat tanah. Dalam persoalan ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Pasalnya, seringkali ‘pelayanan’ yang diberikan saat masyarakat mengurus sertifikat berlebihan.

“Misalnya, masyarakat kampung yang mau urus sertifikat, disuruh bayar Rp 3 juta. ‘Oh enggak punya duit saya’,” kata Yu Sing kepada Kompas.com, Selasa (24/7/2018).

“Jangankan masyarakat. Bahkan Pemprov DKI pun masih memiliki aset yang tidak bersertifikat,” tambah dia.

Pada 2016 lalu, berdasarkan data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, tercatat ada 2.800 aset Pemprov DKI yang tidak bersertifikat. “Pemerintah sendiri tidak mampu bikin sertifikat, bagaimana masyarakat? Banyak sekali kan. Artinya ada masalah agraria,” tambah Yu Sing. Sertifikat lahan menjadi salah satu benda penting dalam upaya membenahi persoalan wilayah kumuh di Jakarta.

Tanpa adanya sertifikat, pemerintah tidak bisa sembarang masuk untuk membenahi kondisi kumuh di suatu kampung. “Memang betul di kampug itu ada pendatang baru, rumah liar. Tapi sebagian besar di kampung itu ada yang belum diberi haknya kok,” cetus Yu Sing. Yu Sing menambahkan, pemerintah sebenarnya memiliki instrumen untuk membantu masyarakat mendapatkan hak atas sertifikat lahan.

Ketentuan itu salah satunya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Di Pasal 24 ayat 2 terkait Pembuktian Hak Lama disebutkan ‘Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya’.

“Sayangnya, proses pelayanan daerah ini tidak pernah disentuh oleh siapapun kapala daerahnya, karena itu kuncinya,” kata Yu Sing.

Dengan mengacu aturan tersebut, ia mengungkapkan, proses pembuktian status kepemilikan tanah sebenarnya menjadi lebih mudah. Masyarakat cukup membawa sanak famili, kerabat, atau sesepuh kampung untuk membuktikan bahwa dirinya memang benar telah tinggal di sana lebih dari 20 tahun.

Namun upaya tersebut sering dihindari pemerintah lantaran akan membuat proses pengurusan sertifikat tanah menjadi lebih efisien. “Padahal kalau haknya itu selesai diberikan, itu bisa menjadi landasan pemerintah untuk menata kampung,” tutup dia.

 

Sumber : https://properti.kompas.com/read/2018/07/26/112426221/jangankan-masyarakat-pemprov-dki-punya-aset-tak-bersertifikat

 

Related Articles